Mind Map adalah cara mencatat yang kreatif , efektif, dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran kita (Buzan, 2007). Kapasitas seseorang menurut saya bisa dilihat dari kemampuan melakukan mind map-nya.

Analogi Peta Otak? Peta Otak bisa dibandigkan dengan Peta Kota. Dalam suatu kota, contohnya Bandung, terbagi menjadi jalan primer dan jalan sekunder. Jalan primer merupakan jalur-jalur utama seperti misalnya Jl. Ir. H. Juanda atau Jl. Soekarno Hatta, dan Jl. AH Nasution. Jalur Sekunder biasanya berperan sebagai feeder untuk jalur-jalur utama seperti misalnya Jl. Ganesha di Ir. H. Juanda, atau Jl. Rumah Sakit di Jl. Soekarno Hatta, atau misalnya Jl. Sukaasih di Jl. AH Nasution.

Begitu pula dengan peta otak (mind map), jalan utama merefleksikan pikiran-pikiran utama dalam proses pemikiran. Jalan sekunder merupakan pemmikiran-pemikiran sekunder yang membangun jalur utama. Semuanya saling berhubungan dan teratur.

Bagaimana dengan refleksi dengan Kota Bandung? Kita mengetahui apabila jalur-jalur dalam otak terganggu dan tidak teratur tentunya akan menjadi gangguan dalam otak itu sendiri. Banyak penyakit pada otak terjadi karena gangguan pada jalur-jalur utama ataupun pada jalur-jalur sekunder. Jalan dan transportasi kota Bandung dapat merefleksikan kondisi otak pemerintahnya yang memiliki banyak gangguan baik dari segi pembuatan kebijakan dan implementasi dari kebijakan.

Bandung adalah kota Angkutan Umum dimana angkutan umum itu pasti berhenti untuk mengambil penumpang. Namun adakah kebijakan yang mengatur dimana benda itu berhenti? So, tidak heran kalau daya jelajah masyarakat Indonesia sangat rendah karena dimanjakkan oleh “bebas berhenti dimana saja” (KIRI PAK! dan angkot pun berhenti). Kondisi bebas berhenti ini menimbulkan banyak kemacetan dan kecelekaan. Nah, anggap saja dalam otak pemerintah kota Bandung pun sama, banyak sekali gangguan-gangguan sehingga jalur-jalur utama dan jalur-jalur sekundernya menjadi lelet alias lambat dalam berpikir.

Kemudian, ……hahahaha. udah ah, takut pencemaran nama baik.. Saya hanya bisa berdoa agar ada tempat pemberhentian angkutan kota yang pasti, agar tertib. Tidak perlu lah buat MRT seperti singapura, mari kita galakkan keteraturan.